Demokrasi Puro-puro
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bulan Januari lalu baru saja menyelesaikan ajang pesta demokrasinya yang disebut Pemilu Raya (Pemira) dengan melakukan pemilihan ketua dan wakil ketua BEM Universitas, BEM Fakultas, hingga BEM Prodi (Program Studi). Pemira dianggap menjadi gambaran sistem demokrasi dalam kehidupan kampus.
Sistem Demokrasi secara teoritis diartikan sebagai cara untuk melaksanakan kekuasaan dengan selalu berasas pada kepentingan masyarakat yang tercakup di dalam sistem pemerintahan tersebut. Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Oleh karena itu, untuk menerapkan pemerintahan yang bersumber dari rakyat diadakan suatu pemilihan di mana rakyat yang menjadi bagian dalam masyarakat tersebut ikut terlibat pada pemilihan.
Pemira di UNJ dilaksanakan setiap satu tahun guna meregenerasi struktur sebelumnya menjadi struktur yang baru. Di masa pandemi covid-19 yang belum kunjung usai, dalam dua tahun terakhir pemira dilaksanakan secara online melalui web Sikora dengan cara login melalui akun siakad mahasiswa.
Mengacu ke UUD 1945 Pasal 22E ayat 1, pemilihan umum atau pemilu harus menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun faktanya, tidak semua pemilihan bersifat demokratis. Karena untuk mewujudkan pemilihan yang demokratis bukan sekedar ritual memilih pemimpin belaka, tetapi pemilihan yang demokratis harus kompetitif, berkala, inklusif dan definitif dalam menentukan kepemimpinan.
Pemira UNJ yang diklaim sebagai miniaturnya pemilu ternyata terindikasi adanya kecurangan. Walaupun jika dilihat dari segi historisnya, berdasarkan riset dari Didaktika kecurangan-kecurangan sudah ada dalam pemira tahun-tahun sebelumnya. Tetapi mengapa kecurangan seolah menjadi hal yang lumrah, baru dalam lingkup kampus saja pemilihan yang demokratis sulit sekali diwujudkan.
Pemilihan yang mengharuskan login melalui akun siakad di mana banyak mahasiswa 2021 belum mengubah kata sandinya menjadi celah bagi oknum tak berwenang memakai akun mahasiswa demi memenangkan paslon tertentu. Hal ini disebabkan akun siakad mahasiswa yang belum mengganti kata sandinya masih menggunakan Nomor Induk Mahasiswa (NIM). Sehingga, cukup dengan mengetahui NIM mahasiswa yang bersangkutan oknum tak berwenang tersebut mampu mengambil hak suara mahasiswa.
Termasuk penulis sendiri ketika mencoba login ke akun sikora, penulis tidak dapat memilih paslon karena dianggap sudah menggunakan hak pilih. Kesaksian dari petugas KPU Pendidikan Sejarah pun membenarkan bahwasanya banyak terjadi peretasan di akun sikora yang rata-rata adalah mahasiswa angkatan 2021 disebabkan banyak yang belum mengganti kata sandinya. Menurutnya, ada 50 suara yang hilang dari total 200 suara. Laporan mengenai peretasan ternyata juga dialami mahasiswa angkatan 2018 dari Fakultas Ilmu Sosial, di mana akunnya sudah digunakan untuk hak pilih.
Untuk mengatasi penyalahgunaan hak suara ini, KPU pusat memfasilitasi keluhan mahasiswa melalui P3S di mana mahasiswa yang merasa hak suaranya disalahgunakan bisa melapor ke P3S. P3S tingkat prodi menampung keluhan-keluhan mahasiswa terhadap pemira baru kemudian melaporkannya ke P3S pusat. Setelah itu, mahasiswa yang belum mengganti kata sandi siakad diharuskan mengubahnya. Setelah login kembali, P3S akan menghapus database mahasiswa yang merasa hak pilihnya disalahgunakan. Sehingga, mahasiswa yang bersangkutan memiliki akses kembali untuk melakukan pemilihan.
Mengenai oknum tak bewenang, KPU tidak mampu menelusuri pihak mana yang melakukan kecurangan pencurian hak suara. Mereka beralasan tidak mempunyai bukti konkrit untuk melacak salah satu kandidat. Oleh karena itu, KPU lebih berfokus terhadap peretas yang faktanya mereka tidak mampu mengusut secara dalam karena peretas menggunakan VPN sehingga tidak dapat dilacak. Sehingga, siapa oknum tak berwenang yang melakukan kecurangan hak suara pemira tak terusut secara tuntas. Toh BEM universitas, fakultas, maupun prodi sekarang sudah mengesahkan ketua dan wakil ketuanya masing-masing.
Pemira yang dilaksanakan kemarin tidak menggambarkan pemilihan yang demokratis, karena calon-calon yang seharusnya bersaing secara kompetitif justru memanfaatkan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) mahasiswa yang belum mengganti kata sandi siakadnya. Selain itu, penghitungan suara yang seharusnya inklusif melupakan hak suara mahasiswa yang memilih untuk tidak memilih. Pada rilis penghitungan suara KPU tidak dicantumkan berapa jumlah pemilih yang tidak memilih. Bagaimana ingin mencantumkan jika mereka tidak mengetahui jumlah konkritnya akibat ketidakmampuan KPU mengusut tuntas oknum tak berwenang yang melakukan kecurangan. Akhirnya, Pemira yang dikatakan sebagai pesta demokrasinya mahasiswa hanya sebuah demokrasi puro-puro yang dilaksanakan setiap tahun.
Oleh : Nugroho Taufiq Yusron
Komentar
Posting Komentar