Kontribusi kebudayaan Hoakiau di Indonesia

Sumber Foto : Nederland Photo Museum

Perdebatan mengenai orang-orang Tionghoa yang ditolak keberadaannya terjadi pada periodisasi tahun 1959-1960. Hal tersebut karena adanya gerakan politik anti Tionghoa yang dilancarkan angkatan darat Indonesia pada tahun tersebut.  Begitu politik anti Tionghoa menjalar, ambivalensi mengenai tempat bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia memberi jalan pada pengasingan politik dan fisikal mereka sebagai “orang asing”. Tetapi, disamping peristiwa tersebut ada pengaruh kebudayaan yang cukup kuat yang terjadi di Indonesia. Dimulai dari siapakah Hiakiau sebenarnya.

 Hoakiau merupakan sebutan untuk Etnis Tionghoa yang lahir di Cina dan baru mendarat di Nusantara. Mereka memakai bahasa Cina saat komunikasi sehari-hari. Secara administratif, masih termasuk warga negara Cina. Mereka merupakan pendatang yang eksodus dari daratan Cina hingga sampai di Nusantara dengan alasan-alasan yang bersifat pribadi. Mulai dari alasan ekonomi, politik dan sosial. 

Dalam gerakan kemerdekaan, perindustrian, pertanian dan sebagainya Hoakiau telah memberikan banyak sumbangsih yang sangat berarti, tetapi hal tersebut sangat nampak pada aspek kebudayaan. Hoakiau membawa kebudayaannya ke seluruh dunia salah satunya yaitu Indonesia. Kebudayaan Tiongkok tidak memperlihatkan kecenderungan untuk mengekang bangsa lain. Kebudayaan ini juga tidak bisa dikatakan ekspansionistis, melainkan kebudayaan tersebut diambil secara sukarela. Ada alasan mengapa hal tersebut dikatakan sukarela, sebagai contoh seorang leluhur Tionghoa ke Indonesia pergi bukan untuk membawa agama melaikan makanan yang lambat laun menjadi makanan rakyat Indonesia jelata. Adanya kelanjutan pengambilan makanan tersebut menjadi sukarela dan membudaya. Adapun pengambilan lain yang disesuaikan dengan kebutuhannya. 

Ada permainan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bernama barongan atau yang sering kita kenal dengan istilah barongsai. Barongsai cukup menarik minat rakyat sehingga dapat bertahan selama berabad-abad sebagai hiburan terutama pada hari-hari besar. Selain itu Capgomeh, Pehcun sudah bukan pesta untuk golongan Hoakiau seja, melainkan sudah menjadi pesta bersama bagi pribumi. Sampai sekarang pula terdapat puluhan kelenteng dan diantaranya kelenteng lima leluhur yang berlakasi di Medan yang dibangun pada tahun 1930. kelenteng dianggap oleh sebagaian besar masyarakat dapat membawa berkah. Tidak hanya itu, gambang kromong  yang setiap harinya tersesak oleh kepopuleran musik Barat, lewat radio RRI ternyata masih dapat memikat kelompok pendengar para pribumi. Pola musik tersebut telah berabad-abad di iringi oleh lenong. Lenong merupakan  drama tradisional Jakarta, tetapi tenyata lenong merupakan pengambilan perwujudan bentuk drama Tiongkok dari tradisini Kuan Hantjing.  

Sebagai pendatang di daerah dengan penduduk asli yang tingkat peradabannya kurang, sudah tentu ia lebih dilengkapi dengan peradaban dan kebudayaan yang lebih kaya. Dalam perkembangan bahasa Indonesia, orang-orang tidak bisa membantah adanya pengaruh yang besar dari Melayu-Tionghoa. Salah satu pengaruh tersebut tumbuh besar di Jakarta. Suatu perpaduan dari Melayu-Betawi, Melayu golongan Tionghoa, dan kebutuhan bahasa yang lebih praktis. Bahasa ini dibutuhkan oleh para Hoakiau, dan juga di dalam lingkungan Hoakiau sendiri.  Adapun golongan di dalam masyarakat Indonesia, biasanya mereka adalah guru bahasa Melayu, yang mengejek nilai bahasa Melayu-Tionghoa tanpa mengindahkan proses sosial pada fungsi bahasa campuran tersebut. Hal tersebut karena mereka berpegang teguh pada bahasa buku, yang secara tradisional diakui oleh Raffles yang kemudian disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda.  Sesudah runtuhnya penjajahan Belanda pada tahun 1942 di masa bahasa Belanda pun ikut gulung tikar, dan bahasa Indonesia menggantikannya secara mutlak, pengaruh Melayu-Tionghoa yang biasa dipakai dalam harian-harian mulai berpengaruh pula pada bahasa Indonesia resmi hingga sekarang. 


Sumber Referensi : 

Hoakiau di Indonesia,Pramoedya Ananta Toer, Penerbit Garba Budaya Jakarta 1998. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

STANDAR TATANAN KHAYALAK MANUSIA DAN GENDER LEBIH DARI DUA

KAMPUNG SUSUN BAYAM DI TENGAH GEMERLAPNYA IBUKOTA: REFLEKSI MARJINALISASI SOSIAL

Huru-Hara Stigma Gondrong