Huru-Hara Stigma Gondrong











Belakangan ini dunia maya diramaikan dengan beberapa sekolah yang memperbolehkan siswa-siswanya berambut gondrong. Kultur ini memang menjadi diluar kebiasaan khususnya di ranah pendidikan, siswa yang berambut gondrong akan di cap sebagai anak nakal,perusuh, dan lain-lain. Mengapa bisa demikian? Mari kita kulik kembali sejarahnya.

Rambut Gondrong di Era Orde Baru

Andi Achdian dalam pengantarnya di buku “Dilarang Gondrong: Prakti Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an” (2010: vii), menyebut bahwa kebijakan yang melarang rambut gondrong bagi pemuda pria pernah ditayangkan di TVRI pada tanggal 1 Oktober 1973.

Selain itu, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro juga mengumumkan kebijakan itu dalam sebuah acara televisi berjudul “Bincang-bincang di TVRI”.

Soemitro menyatakan bahwa fenomena rambut gondrong pada pemuda dapat memnyebabkan keadaan onvershillig alias acuh tak acuh yang dapat memancing dan meningkatnya angka kriminalitas di Indonesia.

Sejarah rambut gondrong berlanjut ketika ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menanggapi larangan rambut gondrong dengan serius.

Misalnya di Sumatera Utara, para pemuda yang berambut gondrong diperlakukan layaknya penyakit yang berbahaya.

Gubernur Marah Halim akhirnya membentuk sebuah badan khusus yang bertugas memberantas rambut gondrong. Badan tersebut diberi nama “Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong” atau disingkat menjadi (Bakorperagon).

Adapun Andi Achdian menambahkan, badan tersebut diketuai oleh kepala Direktorat Khusus Kantor Gubernur Sumatera Utara dan beranggotakan pejabat-pejabat daerah tingkat I ditambah dengan wakil kwartir daerah Pramuka propinsi Sumatera Utara..

 Dalam sejarah rambut gondrong di Indonesia, tercatat tujuan yang paling utama dari badan tersebut, yakni “membasmi tata cara pemeliharaan rambut yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebudayaan Indonesia”.

Perhatikan tujuan mereka diatas dan kalian pasti akan bertanya, lalu seperti apa model rambut yang mencerminkan kepribadian atau kebudayaan negara ini? Tentu saya tidak tahu, bagi saya statement tersebut hanya bagian propaganda yang tidak ada substansinya.

Kawan-kawan pasti pernah kena razia rambut disekolah yang membuat heboh dan panik seketika. Tapi ternyata razia rambut gondrong sudah ada dari zaman orba, menurut Aria Wiratma Yudhistira (2010: 144),  razia rambut gondrong pertama kali digelar pada tanggal 8 Desember 1966 di depan stasiun Tanah Abang Jakarta.

Tidak seperti razia pada lazimnya yang memeriksa surat-surat kendaraan bermotor, razia ini menyisir rambut anak-anak muda yang bergaya layaknya grup band legendaris asal Inggris “The Beatles”.

Sejarah rambut gondrong mencatat, tak hanya di ibukota, razia juga berlangsung hingga ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya.

Anak-anak muda yang kedapatan berambut gondrong atau memakai pakaian yang tidak sesuai dengan “kepribadian bangsa” akan mendapatkan tindakan “potong di tempat” baik rambut maupun pakaiannya.

Di Bandung misalnya, sejak akhir Desember 1966, petugas razia yang terdiri dari kesatuan-kesatuan ABRI melakukan penertiban terhadap mode Beatles yang sedang populer kala itu.

Alhasil sekitar 150 remaja yang kebanyakan anak orang kaya terjaring dalam operasi. Razia tersebut menurut petugas kala itu merupakan operasi paling berhasil dibandingkan dengan operasi-operasi sebelumnya.

Begitulah sejarah rambut gondrong yang pernah dilarang pada era pemerintah Orde Baru yang mungkin jarang diketahui publik.

Sebegitu mengganggu nya keindahan mahkota dan kepercayaan diri laki-laki di zaman itu, bahkan dianggap kriminalitas.

Zaman Belanda

Namun, kriminalisasi rambut gondrong juga terjadi dari zaman belanda. Seperti apa bentuknya? Di buku yang sama pernah membahas hal ini. Dia mengungkapkan kriminalisasi terhadap orang-orang berambut gondrong juga pernah dilakukan oleh Belanda selama periode revolusi pada tahun 1945-1949.

Hal tersebut juga diulas sejarawan Barat bernama Antonie, JS. Reid, dalam bukunya yang berjudul “Revolusi Nasional Indonesia” (1996: 89-92).

Sejarawan tersebut menjelaskan, di tengah suasana revolusi, muncul berbagai elit pejuang Indonesia yang berpenampilan eksentrik, seperti berambut panjang, berpakaian militer, dan menenteng pistol.

Dalam sejarah rambut gondrong disebutkan saat itu, penampilan dengan rambut gondrong dianggap oleh Belanda sebagai musuh. Bahkan juga diduga teroris dan ekstrimis yang siap memberontak. Belanda menilai pasukan revolusioner di Indonesia sebagai kaum kriminal yang membahayakan.

Akan tetapi berbeda halnya dengan pendapat Ali Sastroamijoyo dalam biografinya berjudul “Tonggak-tonggak di Perjalananku” (1974: 198).

Ali justru menggambarkan pemuda yang berambut gondrong dengan gaya yang urakan di Yogyakarta pada awal 1946 sebagai kekuatan revolusi bangsa.

Berarti adanya praktek tersebut di zaman orde-baru ternyata memang secara universal belanda pun melakukan diskriminasi yang sama.

Gondrong Sebagai Simbol Kewibawaan

Namun, jika ditilik secara historis, seluruh argumen di atas akan segera berguguran. Sebagai missal, meminjam sejarawan Anthony Reid, rambut gondrong sangat melekat dalam tradisi masyarakat Asia Tenggara, termasuk nusantara saat itu, sebagai perlambang atau simbol kekuatan dan kewibawaan seseorang.

Dalam masyarakat Indonesia, setelah masuknya pengaruh islam dan barat, rambut mulai menjadi penanda seksualitas seseorang; laki-laki identik dengan rambut pendek dan rapi, sedangkan perempuan berambut panjang. Pemotongan rambut juga semakin dikaitkan dengan persoalan agama, sesuatu yang membedakan dengan tradisi leluhur masyarakat setempat yang dianggap belum beragama.

Selain peci dan pakaian rapi sebagai simbol aktivis pergerakan, rambut gondrong pun pernah menjadi identitas para pemuda dalam perjuangan revolusi Indonesia. Mulai dari jaman Jepang hingga masa-masa revolusi fisik, para pemuda pejuang semakin identik rambut gondrong dan seragam militer.

Oleh orang-orang Belanda, yang sudah terbiasa dengan rambut pendek dan disisir rapi seperti umumnya penampilan orang Eropa saat itu, para pemuda pejuang ini dilabeli cap “ekstremis”. Saat itu, terutama dari para pemuda dan bekas “jago” yang merasa terpanggil oleh revolusi, para pejuang semakin akrab dengan rambut panjang terurai, berseragam militer, dan sebuah pistol yang tersemat di pinggang.

Ali Sastroamidjojo (1974:198) dalam otobiografinya menggambarkan pemuda yang berambut gondrong dengan gayanya yang urakan sebagai kekuatan revolusi di Yogyakarta pada awal tahun 1946.

Walaupun pernah menjadi simbol dari pemuda revolusioner, tetapi Soekarno pernah dibuat “kesel” dengan gaya rambut gondrong ini, terutama saat perjuangan melawan kebudayaan imperialis sedang memuncak. Karena rambut gondrong semakin identik dengan “lifestyle” pemuda-pemuda barat, maka Soekarno pun pernah memberi cap kepada mereka sebagai “kontra-revolusioner”.

Di sejumlah perguruan tinggi, para pimpinan Universitas sudah menyarankan mahasiswanya untuk tidak gondrong, dan kalau tetap memilih gaya tersebut, mereka dipersilahkan memilih pindah ke kampus lain yang menerima gondrong.

Karena lama-kelamaan gerakan anti-gondrong ini semakin pukul rata, maka para seniman pun terkena getahnya, misalnya Sophan Sophiaan, Broery Marantika, Trio Bimbo, W.S. Rendra, Umar Kayam Affandi, Achmad Akbar, Remmy Silado, Ireng, Taufiq Ismail, dan lain sebagainya.

Reaksi Kaum Terpelajar

Di gerakan mahasiswa, yang semakin “kesal” dengan sikap Soeharto dalam membabat korupsi, rambut gondrong telah dijadikan sebagai salah satu bentuk perlawanan. Ketika pemerintah melakukan razia anti-gondrong, berbagai elemen gerakan mahasiswa di Bandung menggelar razia anti-orang gendut, sebuah bentuk ekspresi kekecewaan terhadap maraknya pejabat yang korup.

Salah satu peristiwa yang memicu perlawanan terbuka mahasiswa versus militer adalah terbunuhnya Rene Louis Conrad, mahasiswa elektro di ITB, tewas dibunuh secara mengenaskan akibat dikeroyok oleh taruna Akpol. Sesaat sebelum pengeroyokan, mahasiswa ITB melakukan pertandingan persahabatan dengan taruna Akpol, namun berakhir dengan tawuran massal karena ledek-ledekan kedua pihak.

Mahasiswa dan pelajar se-Bandung mengecam peristiwa terbunuhnya Rene Conrad. Sebagai bentuk solidaritas terhadap Rene dan mahasiswa ITB, sedikitnya 50.000 orang berpartisipasi dalam demonstrasi mengecam kejadian itu.

Walaupun dapat dikatakan bahwa rambut gondrong sangat dipengaruhi oleh gerakan hippies dan perkembangan musik Rock saat itu, namun kita juga harus melihat faktor ekonomi dan korupsi sangat berpengaruh besar dalam memicu keresahan mahasiswa saat itu. Boleh dikatakan, bahwa “pilihan rambut gondrong telah menandai perpisahan antara gerakan mahasiswa dan orde baru/militer.”

Begitulah, hingga gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menjatuhkan Soeharto, aktivis mahasiswa banyak sekali yang berambut gondrong. Ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di Universitas, aksi protes di depan kampus dipimpin dan diramaikan oleh mahasiswa berambut gondrong.

Sekarang ini, seiring dengan menyusutnya gerakan mahasiswa di berbagai kampus dan pengaruh kuat “lifestyle” baru dari luar, mahasiswa berambut gondrong mulai berkurang pula. Kalaupun ada yang masih berambut panjang, tapi bukan lagi “gaya gondrong” ala mahasiswa tahun 1980-1990-an.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa mahasiswa yang bangkit melawan dan menjadi aktivis harus berambut gondrong, tidak harus dan tidak perlu begitu. Kalau kita melihat dari gambaran historisnya, rambut “gondrong” telah menjadi gaya yang dimusuhi penguasa dan diasosiasikan dengan “penentang” atau kegiatan subversif. Tidak mengherankan pula, sebagian aktivis mahasiswa telah memilih “berambut gondrong”sebagai pilihan untuk menunjukkan perlawanan dan kritik.

Gondrong Itu Seni!

Apakah gondrong terlihat seperti preman? Semoga saya tidak lupa jasa-jasa tokoh dari jamannya Plato merenung sampai jamannya Gadjah Mada melawan penjajah. Mereka orang baik. Mereka orang gondrong. “Mbok jangan terlalu menggeneralisir toh. Jaman dulu kan nggak ada Barbershop, makanya rambutnya pada panjang”. Saya yakin betul bahwa tukang cukur sekarang bekerja untuk mencari nafkah dengan melayani jasa bagi orang-orang yang sudah gerah dengan rambutnya yang lumayan panjang dan dirasanya memang sudah waktunya untuk dipotong, bukan untuk “menggunting” stereotype buruk yang melekat pada laki-laki gondrong.

” Seorang Kurt Cobain berambut gondrong. Juga Axl Rose, John Lennon dan Bob Marley. Hmm.. Musisi sepantasnya berambut gondrong. Penulis, Budayawan dan Pelukis terkenal, Sujiwo Tejo juga gondrong. Seniman pasti punya pemikiran yang tidak disangka-sangka. Pasti ada maksudnya mereka membiarkan rambutnya tumbuh” Begitulah kira-kira saya berkata dalam hati.

Lalu hubungan berambut gondrong dan jiwa seni seseorang itu apa?

Seniman, sederhananya adalah orang yang menghasilkan karya seni. Karya seni adalah bentuk penyampaian pesan oleh seniman (ya dibalik aja sih). Nah, jika dicermati, seorang seniman tidak hanya menyampaikan pesan melalui karya saja, tapi juga bisa dilihat dari penampilan dan gayanya yang nyeleneh. Jangan salah, gaya nyeleneh mereka bukan tanpa makna. Salah satunya dengan berambut gondrong. Seniman selalu suka dengan “kebebasan” berekspresi dan tidak suka nilai standar. Maka berambut gondrong menjadi bentuk kebebasan berekspresi yang mereka tampilkan ke hadapan umum. Berambut gondrong menjadi bentuk pembebasan dari nilai standar di masyarakat; laki-laki harus berambut pendek. Tapi gak semua seniman berambut gondrong sih, mereka mempunyai caranya masing-masing dalam mengaktualisasikan kebebasan.

Seperti yang telah disinggung diatas, di masyarakat, sekolah, maupun kampus masih ada stereotype bahwa mereka yang memelihara rambut gondrong ingin mengikuti jejak-jejak preman, tipikal tidak mau diatur, bahkan seringkali disebut tidak mengenal sopan-santun. Oh Tuhan, semoga saya tidak lupa juga bahwa Muhammad SAW rambutnya panjang sebahu.

Kesimpulan Saya Sebagai Penulis

Bagi saya, ada sesuatu yang bisa diambil dari fenomena semacam itu. Gondrong adalah bentuk perlawanan. Bukan melawan dengan berteriak-teriak, memaksa atau bermain kasar, bahwa gondrong itu sama dengan yang lainnya. Berdemo menolak kebijakan pemerintah yang dilengkapi catatan kata-kata “sakit hati” dan bermodalkan rambut gondrong ala-ala mahasiswa saat ini yang nyatanya hanya sekedar ikut-ikutan. Dan gak semuanya juga yang demo itu gondrong. Perlawanan bagi saya adalah bagaimana, saya dengan rambut panjang ini melawan semua stigma dengan tetap membawa sejatinya mahasiswa yang berintelektual. Biarkan kesadaran menjawab.

Saat ini gondrong memang tak dilarang, namun sekolah-sekolah formal kebanyakan masih melarang siswanya berambut gondrong, bagi saya tak mengapa lah walaupun stigma sedari orba atau bahkan zaman belanda itu masih menjadi stigma atau ingatan kolektif bagi orangtua saat ini. Namun, setidaknya lulus dari sekolah dan menginjak bangku kuliah saya bisa gondrong dengan tenang dan nyaman karena rambut bukan menjadi urusan lagi, yang penting berpakaian rapih kalau kata orangtua saya.

Sumber Referensi:

Aria Wiratama Yudhistira, Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010).

(photo; De Britto, Crowd Zero Indonesia yang berakhlak; Kompasiana)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

STANDAR TATANAN KHAYALAK MANUSIA DAN GENDER LEBIH DARI DUA

KAMPUNG SUSUN BAYAM DI TENGAH GEMERLAPNYA IBUKOTA: REFLEKSI MARJINALISASI SOSIAL