Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2022

Huru-Hara Stigma Gondrong

Gambar
Belakangan ini dunia maya diramaikan dengan beberapa sekolah yang memperbolehkan siswa-siswanya berambut gondrong. Kultur ini memang menjadi diluar kebiasaan khususnya di ranah pendidikan, siswa yang berambut gondrong akan di cap sebagai anak nakal,perusuh, dan lain-lain. Mengapa bisa demikian? Mari kita kulik kembali sejarahnya. Rambut Gondrong di Era Orde Baru Andi Achdian dalam pengantarnya di buku “Dilarang Gondrong: Prakti Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an” (2010: vii), menyebut bahwa kebijakan yang melarang rambut gondrong bagi pemuda pria pernah ditayangkan di TVRI pada tanggal 1 Oktober 1973. Selain itu, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro juga mengumumkan kebijakan itu dalam sebuah acara televisi berjudul “Bincang-bincang di TVRI” . Soemitro menyatakan bahwa fenomena rambut gondrong pada pemuda dapat memnyebabkan keadaan onvershillig alias acuh tak acuh yang dapat memancing dan meningkatnya angka kriminalitas di Indonesia. Sejarah rambut gondrong berlan

Puber Intelektual

Kita pasti sudah tahu apa arti pubertas, layaknya anak muda yang baru berusia belasan tahun, dimana masa-masa itu merupakan masa-masa krusial buat anak muda yang akan bertransisi menuju proses pendewasaan diri. Mereka akan penasaran dengan hal-hal baru, tidak peduli apakah itu positif atau negatif, yang penting mereka harus mencobanya.  Tentunya, mereka akan mendramatisir sedemikian rupa supaya mereka bisa dikenal oleh khalayak ramai lewat hal baru tersebut. Sebetulnya jika kita ingin flashback, fenomena semacam ini sudah pernah terjadi di salah satu perguruan tinggi Islam di salah satu kota di Jawa Barat pada tahun 2008 silam. Dan ternyata kejadian semacam ini, terjadi lagi pada tahun ini. Kebanyakan mereka yang belajar filsafat dan terjerumus ke dalam jurang ateis adalah mereka yang belajar filsafat secara dangkal ataupun mereka yang tidak beragama Islam secara benar. Lihatlah para mahasiswa di perguruan tinggi Islam yang kebetulan mengambil jurusan aqidah filsafat. Mereka justru sem

Demokrasi Puro-puro

 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bulan Januari lalu baru saja menyelesaikan ajang pesta demokrasinya yang disebut Pemilu Raya (Pemira) dengan melakukan pemilihan ketua dan wakil ketua BEM Universitas, BEM Fakultas, hingga BEM Prodi (Program Studi). Pemira dianggap menjadi gambaran sistem demokrasi dalam kehidupan kampus. Sistem Demokrasi secara teoritis diartikan sebagai cara untuk melaksanakan kekuasaan dengan selalu berasas pada kepentingan masyarakat yang tercakup di dalam sistem pemerintahan tersebut. Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Oleh karena itu, untuk menerapkan  pemerintahan yang bersumber dari rakyat diadakan suatu pemilihan di mana rakyat yang menjadi bagian dalam masyarakat tersebut ikut terlibat pada pemilihan. Pemira di UNJ dilaksanakan setiap satu tahun guna meregenerasi struktur sebelumnya menjadi struktur yang baru. Di masa pandemi covid-19 yang belum kunjung usai, dalam dua tahun terakhir pemira d