FILM EKSIL: BAGIAN SEJARAH INDONESIA YANG TERPINGGIRKAN DAN MEREKA YANG MENCARI ARAH PULANG
Pada 1 Februari 2024, film dokumenter ‘Eksil’ garapan Lola Amaria tayang dalam bioskop dibeberapa kota Indonesia. Film Eksil yang berlatar sejarah ini selama masa penayangannya ramai diperbincangkan oleh masyarakat dalam sosial media, komentar mereka perihal film ini ada yang pro dan kontra, terlebih lagi secara tak sengaja jadwal tayang juga bersamaan dengan berlangsungnya Pemilu 2024.
Film dokumenter ini mengisahkan bagaimana nasib para sejumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri harus kehilangan status kewarganegaraan dan tak bisa kembali pasca tragedi ’65 di Indonesia. Pada film ini menampilkan kisah dari 10 tokoh, yaitu Hartoni Ubes, Asahan Aidit, Kuslan Budiman, Waruno Mahdi, I Gede Arka, Chalik Hamid, Tom Iljas, Sarmadji, Djurnaini Kartaprawira, dan Sarjio Mintardjo. Sejumlah dari mereka tersebar diberbagai negara, seperti Belanda, Jerman, Ceko Slovakia, Rusia, dan Swedia.
Dalam film disebutkan, bahwa kondisi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dan dipimpin oleh Presiden Sukarno yang memiliki rencana dalam membangun Indonesia, terkhususnya dalam membangun sumber daya manusia. Maka dari itu, untuk menciptakan generasi baru yang berpotensi dengan mengirimkan putera puteri terbaik di Indonesia ke berbagai negara-negara maju untuk menuntut pendidikan. Namun sayangnya, cita-cita tersebut harus pupus hal ini dikarenakan kondisi politik yang caruk-maruk dan tidak stabil di Indonesia setelah peristiwa G30S 1965, akibatnya mereka yang dicap kiri atau simpatisan PKI pada saat itu mengalami pembunuhan secara massal dan juga menjadi tahanan selama bertahun-tahun tanpa adanya pengadilan. Serta, menjadi titik akhir kepemimpinan Presiden Sukarno yang tergantikan oleh Jenderal Suharto dari Angkatan Darat.
Dampak tersebut bukan hanya di Indonesia, tapi turut berpengaruh bagi mereka para pelajar dan mahasiswa yang sedang menuntut pendidikan di luar negeri. Dari kesaksian para eksil, dijelaskan bahwa pasca tragedi ’65 untuk mengakses informasi apa yang terjadi ditanah air sangat terbatas. Tak hanya itu, melalui utusan dari Suharto, mengeluarkan intruksi untuk menjalani pemeriksaan dan pernyataan loyalis terhadap pemerintah baru, yaitu Orde Baru dibawah kepemimpinan Suharto.
Seperti
yang dikatakan oleh I Gede Arka, bagi mereka yang menolak dan tetap setia pada
kepemimpinan Sukarno mengakibatkan paspor dicabut, sehingga mereka tak memiliki
kewarganegaraan atau stateless dan tak bisa kembali ke tanah air. Tak
sampai disitu, kehidupan mereka pun berubah sangat drastis. Dalam cuplikan
film, diperlihatkan bagaimana perjuangan para eksil untuk bertahan hidup dengan
berpindah-pindah negara, bekerja secara serabutan atau sangat bersebrangan
dengan keahlian dan latar keilmuannya. Mereka juga sulit dalam berkomunikasi
dengan keluarga atau kerabat di Indonesia.
Diantara
ambang ketidakpastian, sebagian para eksil masih menaruh bibit harapan untuk
bisa kembali pulang atau mendapat kembali kewarganegaraan Indonesia dan mencari
cara untuk bisa mewujudkan. Oleh karena itu, mereka tak langsung mengambil
kewarganegaraan baru ditempat mereka tinggal. Bahkan, sebagian dari mereka rela
bertahun-tahun menunggu pergantian kepemimpinan Suharto untuk bisa berkunjung
ke tanah air dan bertemu keluarga. Namun, penantian tersebut nyatanya sulit
terwujud. “Orba masih ada, hanya berganti jas,” ungkap Kartaprawira dalam film
Eksil.
Pada
akhirnya, sejumlah dari mereka memutuskan menjadi warga negara ditempat mereka
tinggal. Keputusan tersebut bukan berarti mereka bukan bagian dari bangsa
Indonesia lagi. Hal ini dilakukan sebatas keperluan administrasi, seperti
pembuatan paspor agar bisa berkunjung ke tanah air. Dan disisi lain juga, untuk
mendapatkan perlindungan hukum sebagai warga negara. Walaupun, status mereka
bukan lagi WNI dan disingkirkan, tetapi jiwa dan hati mereka tetap setia pada
tanah air tercinta, Indonesia.
Tentu dapat dirasakan melihat bagaimana sejumlah para eksil menjadikan rumahnya sebagai ‘rumah kedua’ bagi para pelajar dan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Sarmadji, salah satu eksil yang berdiam di Belanda menjadikan tempat tinggalnya layaknya perpustakaan penuh dengan berbagai informasi dan mengumpulkan arsip, dokumentasi, dan buku yang berkaitan dengan Indonesia. Ribuan koleksi miliknya dijadikan perpustakaan umum dan dinamai dengan sebutan Yayasan Perhimpunan Dokumentasi Indonesia yang disingkat Perdoi. “Kalau kata Pram, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan,” ungkap Sarmadji dalam film Eksil.
Banyak hal yang dapat dijumpai dari kisah sejumlah para eksil, yang merupakan bagian sejarah Indonesia yang dipaksa terpinggirkan oleh ‘mereka’. Stigmanisasi negatif yang masih berlangsung hingga sekarang, bahkan mulai dibangun memori kolektif sejak bangku SD. Pembelajaran tragedi ’65 hanya terfokus versi pemerintah Orde Baru, tanpa adanya mempelajari dari sisi lain. Belum lagi, propaganda yang dibuat terkhususnya dalam bentuk film, salah judul film Penumpasan Pengkhiatan G30S/PKI yang masif dilakukan dalam bangku sekolah.
Hadirnya, film Eksil membawa harapan baru dalam pengungkapan sisi lain sejarah dari tragedi ’65 di Indonesia. Dan bisa menjadi refrensi dalam pembelajaran sejarah. Tingginya antusias dari berbagai kalangan masyarakatnya dalam menyambut film Eksil ini dapat mencapai para audiens yang diharapkan, terkhususnya bagi mereka yang masih awam dengan sisi lain sejarah tragedi ’65, yang tertuju pada para eksil. Dan lagi, film ini mengingatkan kita akan lembaran sejarah kemanusiaan yang hilang dinegeri ini. Bagaimana kejahatan HAM secara besar pernah terjadi dan para korban secara menyeluruh masih dalam balutan trauma, tanpa adanya rekonsiliasi secara tuntas.
Komentar
Posting Komentar