Refleksi Pendidikan Marxis Sosialis


Dalam banyak hal, Karl Marx diwujudkan sebagai tokoh ekonomi politik dan pejuang kaum buruh. Sejauh ini, penelitian ilmiah hanya berfokus pada teori "sejarah perjuangan kelas antara borjuasi dan proletariat", titik awal pemikiran Marx. Jarang ditemukan wacana yang mengkontraskan pemikiran Marx dengan dunia pendidikan.

Faktanya, Karl Marx bukan hanya seorang pemikir politik dan ekonomi, tetapi juga seorang pemikir pendidikan yang terkenal, sebagaimana dijelaskan oleh buku The Marxian Socialist Pedagogy. Menurut Nurani Soyomukti, penulis karya ini, Marx, bukan Paulo Freire seperti yang diyakini banyak orang, sebenarnya adalah pelopor dan pendiri pendidikan kritis dan teori pembebasan.

Apa sih yang dimaksud Marx?

Pendidikan diyakini sebagai modal intelektual untuk akhirnya terjun ke lingkungan sosial dan membuat perubahan didalamnya. Namun, kini sekolah seolah menjadi ladang mencari uang bagi instansi, serta patronase pelajar. Kita bedah satu-satu dulu.

Di Kota Depok misalnya, beberapa sekolah masih menerapkan SPP yang terbilang beda angkatan bisa beda bayaran, itu pun belum termasuk buku pelajaran, modul pembelajaran, dan keperluan lainnya. Tak hanya Depok, saya menemukan video di Internet yang mana memperlihatkan seorang Gubernur datang ke Sekolah Dasar, saat salahsatu murid ditanya tentang berapa biaya SPPmya murid tersebut menjawab harus membayar 30ribu rupiah. Hal tersebut cukup membuat terkejut sang Gubernur, ia menjawab seharusnya di daerahnya SPP untuk sekolah digratiskan. Walaupun nominalnya kecil, tetap saja jatuhnya adalah pungli.

Bisa dibayangkan bagaimana tahap sekolah saja komersialisasi pendidikan sudah mulai terlihat. Akhirnya menimbulkan pelajar yang terstimulus.

“Waduh, gue belom bayaran lagi. Bisa ikut tahun ajaran baru ngga ya?’

“Belum bayaran gini pasti ga bisa ikut ujian.”

Bukankah miris apabila intelektualitas dikesampingkan? Saya yakin bagi orang yang kurang berada akan sangat sulit bersekolah meskipun cerdasnya bukan main.

Pendidikan sekarang hanya menjadi taman bermain bagi para kapital, hal itu terlihat jika kita membandingkan SMA biasa dan Sekolah Pelita Harapan semisal. Orang kaya jelas membayar sekolah yang lebih mahal demi putra-putrinya belajar dengan layak dan standaritas tinggi. Jika melirik kembali pada esensi pendidikan justru tidak begitu, tapi bagaimana akhirnya sekolah-sekolah ini mempunyai gengsi intelektual yang sama, atau kelayakan sarana-prasarana yang sama.

Pelajar juga dipatronase dengan lingkup pendidikan yang menjenuhkan, tak heran pelajar terkadang merindukan bel istirahat dan bel pulang. Fokus pelajar yang teralihkan kesana mengakibatkan kurangnya ilmu atau esensi dari mata pelajaran yang didapat.

Pelajar juga dibentuk sebagai individu non kritis, guru cenderung memberi arahan untuk hanya membaca buku paket yang dianjurkan sekolah, lalu saat guru kurang tepat memberikan penjelasan maka koreksi dari murid dianggap “melangkahi” seorang guru. Memang tidak semua guru, tetapi banyak.

Seharusnya pendidikan kembali pada substansi, minimal visi-misi yang ada disekolah-sekolah atau perguruan tinggi menjadi concern utama alih-alih mempermasalahkan mereka yang telat bayaran, jika kita refleksikan soal pendidikan marxis tadi. Opini saya, pendidikan harus terlepas dari nominal atau kalkulasi rupiah, pendidikan yang inklusif serta sistem manifestasi yang dapat dirasakan oleh rakyat.

Sumber Referensi:

Soyomukti, Nurani. 1979. Metode Pendidikan Marxis Sosialis: Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STANDAR TATANAN KHAYALAK MANUSIA DAN GENDER LEBIH DARI DUA

KAMPUNG SUSUN BAYAM DI TENGAH GEMERLAPNYA IBUKOTA: REFLEKSI MARJINALISASI SOSIAL

Huru-Hara Stigma Gondrong