Pendidikan Era Reformasi (Kebijakan, Harapan, dan Realitas Pelaksanaannya)

 


Kebijakan Era Reformasi terlahir sebab dari pada zaman sebelumnya pada masa Orba, saat kepemimpinan Rezim Soeharto. Pada saat itu, pemerintah terlalu menancapkan kukunya di bidang pendidikan, karena memang sifat pemerintahannya yang otoriter-sentralistik. Pemerintah mengatur semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan sampai kebebasan rakyatnya pun di gunting, lebih parah lagi kebebasan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya, dengan dibuktikan adanya kebijakan NKK/BKK agar bisa meredam gerakan masif para mahasiswa yang bisa memegang kontrol sosial. Pemerintah Orba  menggunakan kekuatan dan ketakutan untuk menjalankan pemerintahannya, walaupun dalam segi kuantitatif dalam bidang pendidikan mereka menunjukan prestasi yang luar biasa dengan membangun banyak gedung sekolah, namun hal itu hanya di fokuskan pada pembangunan infrastruktur bukan pada Sumber Daya Manusianya. Lebih jelasnya, pemerintahan masa Orba mengabaikan HAM dan telah gagal untuk bisa memberdayakan masyarakat agar bisa berdikari dalam segala aspek kahidupan. Ditambah lagi dengan racun yang larut dalam pemerintahan, yaitu seperti KKN dan Prinsip Koncoisme/Kronisme. Dengan ciri-ciri sistem pemerintahan Orba yang berdampak pada pendidikan, menggeser tujuan pendidikan dari untuk mencerdaskan rakyat menjadi membebankan rakyat.

Setelah Soeharto mengundurkan diri, dan digantikan pemimpin yang baru, mulai dari B.J. Habibie yang mengganti sistem pemerintahan menjadi lebih Demokratis yaitu dengan adanya Otonomi Daerah atau Desentralisasi, yang dilegalkan lewat UU No.22 tahun 1999 dan disempurnakan menjadi UU No.32 tahun 2004. Walaupun agaknya terlihat demokratis, namun sebenarnya pemerintah membentuk suatu Liberalisme dalam bentuk baru, dengan adanya program Deregulasi ekonomi, Liberalisasi, dan Privatisasi.

Dengan adanya reformasi, diharapkan dapat mengatasi krisis multi-dimensi yang ada, menetapkan beberapa dasar kebijakan yang dapat diterima semua pihak, dengan melakukan rekonsiliasi untuk mencapai konsensus nasional. Dasar kebijakannya seperti berikut :

1.      Reformasi harus dianggap sebagai pembaharuan dari zaman sebelumnya, kita harus dengan besar hati untuk bisa melihat kebelakang untuk mengetahui apa yang terjadi dan apa yang tidak terjadi, dengan begitu maka diharapkan dapat menentukan dasar-dasar untuk bisa melakukan pemulihan sistem pemerintahnya, terkhusus pada pendidikan.

2.      Dengan tercapainya konsensus nasional, maka stabilitas nasional akan lebih terlihat wujudnya. Oleh karena itu reformasi akan berjalan dengan tertib dan teratur.

3.      Reformasi akan berjalan dengan tertib dan teratur serta berdampak baik, jika HAM dijunjung tinggi. Oleh karena itu reformasi harus berjalan dengan demokratis.

4.      Manusia menjadi titik focus dalam reformasi yang diarahkan pada pemberdayaan manusia dalam masyarakat agar bisa hidup mandiri, mampu mengembangkan Prakarsa, vitalitas tinggu dan siap bekerja.

5.      Masyarakat harus didorong untuk bisa menjunjung HAM, maka supremasi hukum harus ditegakan guna menghindari penindasan dan pengabaian atas HAM.

6.      Kewibawaan Hukum dan Kelembagaan hukum yang merosot harus dibenahi secepatnya, dengan betindak adil agar menjamin kelancaran dalam pembangunan dan menimbulkan rasa percaya dan keamanan pada masyarakat.

7.      Sistem pemerintahan Indonesia seharusnya menerapkan prinsip Meritokrasi, yaitu dengan memberikan tanggung jawab atas jabatan sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang dimiliki.

8.      Menjadikan SDM sebagai prioritas, untu mendukung penduduk Indonesia sesuai dengan aspirasinya, dengan memberikan peluang pekerjaan, berharap untuk bisa mengentas kemiskinan. Didukung dengan memberikan kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai.

Untuk memberikan kesempatan pendidikan untuk masyarakat guna meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri maka diberlakukan program Wajib Belajar 12 Tahun yang diperuntukan seluruh lapisan masyarakat dengan memperhatikan kemampuan masyarakat luas untuk bisa menikmati pendidikan.

Namun pada realitasnya reformasi tidak berjalan dengan baik, harapan yang diberikan kepada reformasi seperti utopia belaka. Pendidikan di era reformasi yang diharapkan membawa perbaikan dimuka bumi Indonesia ini gagal menjawab berbagai tantangan, walaupun dianggap sebagai kemajuan yang lebih baik dari sebelumnya, pendidikan malah tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah, dibuktikan dengan adanya berbagai permasalahan seperti korupsi, kolusi, politik yang rusuh, birokrasi yang kusut dan masih banyak lagi. Di dalam dunia pendidikan sebagai contoh reformasi tidak berjalan dengan baik yaitu ketidaksesuaian pada KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) tahun 2004 dengan adanya program UAN di dalamnya. Program UAN tidak sesuai karena hanya mencakup aspek Kognitif dalam menentukan syarat kelulusan, hal tersebut tentu sudah mereduksi tuntutan kompetensi dalam KBK, yaitu Kognitif, Afektif, dan Prikomotorik.

Pendidikan Indonesia mengalami kemunduran (Involusi) dalam segi SDM, bergerak tanpa arah yang jelas. Mutu manusia yang katanya berpendidikan semakin menurun, walaupun fasilitas terus bertambah. Hal tersebut menjadikan kualitas pendidikan Indonesia tidak terlalu Kompetitif dengan negara lainya, bahkan se-Asia Tenggara sekalipun. Hal itu terjadi akibat dari adanya biaya pendidikan yang mahal, pemerintah daerah yang enggan melaksanakan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD, menjadikan banyaknya fasilitas yang statusnya kurang layak untuk digunakan. Seperti di Papua dan Kalteng, SDA yang tinggi tidak menjamin pendidikan akan menjadi lebih baik dan menjadikan SDM bermutu rendah. dengan biaya pendidikan yang mahal maka akan mempersulit pemerataan pendidikan, hal tersebut bisa memicu adanya disintegrasi dan adanya ketimpangan sosial antara yang mampu dan yang tidak mampu.

 Dengan adanya Otonomi daerah yang telah dilegalkan, pada tahun 1999-2012, berdiri sebuah struktur badan hukum perguruan tinggi yang disebut dengan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang didanai dengan uang hasil berhutang dengan IMF, dengan begitu maka ada beberapa perguruan tinggi yang pada saat itu sudah mempunyai status BHMN yaitu, UI, UGM, ITB, IPB. Dengan adanya status tersebut maka mereka mempunyai hak atas otonomi kampusnya. Memasuki tahun 2012, Status BHMN diganti dengan nama PTN-BH dengan kepanjangan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Setiap kebijakan yang dijalankan pasti terdapat dampak positif dan negatifnya, dampak positif dari adanya PTN-BH ini adalah memudahkan untuk bisa lebih bebas dalam mengelola kampus baik dari segi program, personalian dan keuangan, contohnya dengan membuka program studi baru atau bahkan menghilangkannya jika tidak diperlukan lagi dan menaikan biaya perkuliahan pada program studi yang lebih popular. Dampak negatifnya lebih dirasakan oleh para mahasiswa dari kalangan menengah kebawah atau mereka yang berada di dalam program studi yang popular tadi, dengan meningkatnya biaya perkuliahan yang disebabkan adanya pengurangan subsidi dari pemerintah, dengan begitu maka pendidikan makin bersifat eksklusif.

Pada akhir-akhir ini, Menteri Pendidikan memberlakukan sebuah Kurikulum baru yaitu Kurikulum Merdeka, Kurikulum merdeka ini diharapkan sebagai sebuah solusi daripada permasalahan yang ada pada pendidikan. Kurikulum merdeka dimaksudkan untuk melatih kemerdekaan seorang guru dalam mengajar dan seorang murid dalam berpikir. Dengan adanya kurikulum baru ini, peserta didik dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing.  Namun dalam mengimplementasikannya mungkin akan terdapat beberapa problematika, seperti pendanaan untuk magang di perusahaan bagi mahasiswa, pola pikir yang masih beradaptasi dengan kurikulum baru ini, dan kurangnya kesiapan sumber daya manusia. Walaupun seperti sangat demokratis, apakah sistem kurikulum ini merupakan bentuk baru dari liberalisme, kurangnya kesiapan para tenaga pengajar menjadikan ketidak sesuaian dalam implementasinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STANDAR TATANAN KHAYALAK MANUSIA DAN GENDER LEBIH DARI DUA

KAMPUNG SUSUN BAYAM DI TENGAH GEMERLAPNYA IBUKOTA: REFLEKSI MARJINALISASI SOSIAL

Huru-Hara Stigma Gondrong