Tentang Mahasiswa dan Bagaimana Cara Memperlakukannya

 

(photo: ELSHINTADOTCOM)

            Kita mulai dengan sebuah pertanyaan; hal apa yang paling aneh ketika seseorang menjadi mahasiswa? Jika saya boleh menjawab—adalah dengan menjadi mahasiswa! Mengapa demikian? Pertimbangkan kalimat ini; suatu hal yang cukup masuk akal bila kita mengatakan bahwa mahasiswa adalah entitas paling mistis yang pernah diciptakan oleh masyarakat kontemporer. Keberadaan magisnya yang kerap diselubungi oleh panji-panji intelejensia, sebagaimana kelompok terdidik yang sudah sewajarnya menolong ‘rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan’ mengikhtiarkan sebuah kenyataan dirinya yang tercerabut dari kenyataan historis, sosial maupun individual. Pemberhalaan yang dikumandangkan melalui fraseologi reformis mereka yang impoten dan ketinggalan jaman itu, justru semakin aneh tatkala kesadaran mereka sampai pada batas; bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah ekspresi dari kefakiran menuju kehidupan proletariat yang sudah menunggunya di masa depan. Dengan tidak bermaksud melebih-lebihkan, apa yang menjadikan mahasiswa sebagai makhluk yang paling aneh saat ini adalah kondisi keterasingan mereka dalam kenyataan sistem ekonomi-politik yang kelak mendaftarkan fungsi mereka sebagai calon buruh-upahan, yang mana kemudian dengan senang hati mereka tafsirkan menjadi mimpi-mimpi serta ilusi-ilusi fantastis sebagai agen perubahan.

            Di Indonesia, menjadi mahasiswa tentu merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, terutama bagi mereka; anak-cucu petani yang tidak lagi memiliki hak atas tanahnya sendiri. Kebanggaan tersebut tergambar jelas lewat jejak historis mereka; dimana sejarah panjang industrialisasi di Indonesia, sejak zaman Politik Etis hingga sekarang, hanya menyisakan kesan penggusuran- perampasan tanah serta mobilisasi dirinya ke dalam konsentrasi pembentukan kelas buruh-upahan. Industrialisasi, sebagai kata kunci kita, yang berwatak ekspansif, invansionis dan tersentralisasi atas nama keuntungan, yang berkembang pesat ketika ia berada di bawah asuhan Orde Baru, kemudian menambah deras arus urbanisasi para anak-cucu petani ke dalam lembaga pendidikan— ini dia, sistem pendidikan modern; saat-saat dimana mereka disulap menjadi komoditas pekerja yang tak lebih baik dari sebotol Coca-cola. Sehingga, bagi mereka tiada hal yang dapat dikerjakan selain menikmati hidup dibalik usaha-usaha pembangunan, yang merupakan tempat ideal bagi mereka untuk berlindung dari kutukan sejarah.

           Sementara di sisi yang bersamaan, kegembiraan mereka ketika menerima kemewahan modernitas dengan mengenyam bangku pendidikan, bahkan hingga taraf universitas ketimbang harus berjam-jam membajak sawah, membuat mereka jatuh dalam jurang ketidaksadaran diri yang sangat mistis—yakni kenyataan berjarak yang mereka ciptakan dengan rakyat kebanyakan lewat statusnya sebagai kaum intelektual. Dengan demikian, apa yang kian melembagakan kefakiran mahasiswa adalah proses sejarah kelahirannya yang syarat akan kesenjangan ekonomi, ‘tugas suci’ mereka untuk menjaga harmoni roda kesenjangan itu serta status ‘almamater intelektual’ mereka yang sempit dan imajiner. Untuk itu, dari sekian banyak demonstrasi yang mereka lakukan atas nama rakyat, tanpa pernah menyadari bahwa mereka sama terasingnya seperti rakyat kebanyakan,


maka “Sang Messianis dengan kemiskinan total” adalah kata yang pantas untuk melambangkan siapa sebanarnya mahasiswa itu.

           Namun di masa kini, tidak ada hal yang lebih menjijikan dari mereka tanpa pernah menyebut tentang kebutaan mereka terhadap kata “reformasi” dan keniscayaan “kebangkitan gerakan mahasiswa”. Bahwa, mahasiswa menjadi menjijikan bukan hanya karena kemiskinan mereka, tetapi juga karena kepuasan diri mereka sendiri atas segala bentuk kemiskinan, kecenderungan mereka yang tak sehat untuk berkubang dalam alienasi diri mereka sendiri, berharap hal tersebut akan menjadi menarik di tengah ketidak-menarikkan mereka. Segala nilai dan narsisme yang cenderung dipaksakan melalui rantai penandaan, bahwa makna menjadi “mahasiswa” sama dengan “agen perubahan yang bergerak melawan penindasan”, sungguh- sungguh mencirikan dunia mereka yang sempit. Sisa-sisa kebencian mereka terhadap Orde Baru dan semangat mereka untuk mengkreasikan gerakan reformasi yang berjilid-jilid justru menampilkan petanda utama mereka yang sesungguhnya—sebagai kelompok yang terkutuk oleh sejarah, sekaligus sebagai lelucon dengan ilusi-iusi mereka yang menggelikan.

           Inilah kenyataannya, yang coba disangkal oleh mereka, para mahasiswa. Penyangkalan mereka atas kenyataan faktis sebagai budak-budak modern, tak lain berdasarkan kenyataan bayangan mereka sebagai “kaum intelektual”, lebih tepatnya sebagai agen perubahan. Kiranya disnilah letak kemistisan mereka, yang mencirikan betapa menyedihkannya mereka. Namun sampai disini, kita lupa satu hal; lalu, bagaimana cara memperlakukannya?

  Sedikit Sentuhan Historis Untuk Memperlakukan Mahasiswa

            Jika penjelasan tentang sifat mistis yang mengitari mahasiswa tidak juga memberikan sedikit pencerahan atas kedegilan mereka, maka sentuhan ajaib sejarah akan mengadili jerumun kepala satu per satu dari mereka. Dan cara terbaik untuk memperlakukan mereka adalah dengan mengekspos kefakiran yang mereka derita lewat kenyataan sejarah yang mengalienasikannya.

           Pertama-tama, kita akan masuk ke dalam kisah perselingkuhan dengan musuh terbesar mereka, militer. Tahun-tahun awal kebangkitan rezim Orde Baru adalah tahun-tahun yang menandakan era kebangkitan mereka, sekaligus menandakan pengalaman yang hanya layak mereka buang ke selokan. Oktober 1965, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) didirikan atas anjuran Mayor Jenderal Syarif Thayib. Mereka terdiri dari organisasi-organisasi religius konservatif, yang ditujukan untuk membatasi aktivitas politik dari organisasi mahasiswa lainnya yang dianggap “kiri”. Lebih lanjut, antara tahun 1965 sampai dengan 1970 hampir semua mobilisasi KAMI ditujukan untuk menentang Soekarno dan apa yang disebut oleh “Orde Baru”- nya Soeharto diberi label “Orde Lama”—pemerintah dan politikus 1962-1965. Di sinilah kiranya, momen kemunculan sebuah periode baru gerakan, dengan mahasiswa sebagai pembawa infeksi revolusionernya. Tetapi, yang mengejutkan di sini bukanlah kisah klasik perselingkuhan mereka dengan militer, melainkan lebih dalam lagi; kehancuran gema ideologis dengan kemunculan entitas sempit “mahasiswa” yang telah hidup melalui serangkaian kekalahan dan membiarkan rakyat menelan semua kebohongan dalam waktu yang lama, pendegradasian yang memalukan dalam sebuah gerakan revolusioner.


           Tahun 1965 adalah awal dimana mahasiswa sendiri menjadikan dirinya sebagai mitos yang dipublikasikan. Mereka lebih mirip sebuah kelompok yang dibayangkan hidup dalam bayangan tentang kebersamaan mereka melawan kekuasaan. Mahasiswa digambarkan sebagai “kekuatan moral” yang tak tertarik dengan persoalan kekuasaan itu sendiri, sebagaimana juga saat mereka memberikan legitimasi pada penggulingan kekuasaan dan penindasan terhadap satu kekuasaan, namun tetap serta menengok kekuasaan yang lain. Penggambaran atas diri mahasiswa ini menjadi sangat mungkin dengan adanya pergolakan antar dua kekuasaan, ‘Orde Baru’ melawan apa yang mereka sebut sebagai ‘Orde Lama’. Realisasi dari ilusi mahasiswa dapat berarti hal-hal yang berkaitan di balik kisah perselingkuhan mereka; sebagai legitimasi sekutu sipil dari kekuasaan baru yang menyediakan keistimewaan penuh kepada mahasiswa untuk melakukan mobilisasi politik. Di mana hal tersebut hanya dapat direalisasikan melalui publisitas dan demostrasi yang gila-gilaan, seperti mimpi dan fantasi. Realisasi dari ilusi yang dimaksud adalah proses penyuntikkan identitas “mahasiswa” oleh kekuasaan baru melalui praktik diskursif agar dapat dimobilisasi melawan kekuasaan lama. Secara tidak langsung, dapat kita katakan bahwa Militer-Soehartoisme bertanggung jawab atas kontribusinya terhadap ilusi tentang mahasiswa.

           Kedua, pengembang-biakkan mitos mahasiswa sebagai kekuatan moral melawan kekuasaan yang telah menciptakannya. Saat mahasiswa menghasrati identitas tentang dirinya sebagai “kekuatan moral”, militer yang telah mendapatkan tampuk kekuasaan kemudian mendegradasikannya ke dalam posisi yang sangat hina. Kekuasaan baru menganjurkan agar apa yang mahasiswa lakukan seharusnya adalah menyibukkan diri dalam usaha-usaha pembangunan”. Maka, Soeharto dan kekuasaan Orde Baru yang membaringkan dirinya dalam modernisasi permanennya, sekarang harus dikonfrontasi dengan musuh yang paling penting: negasi yang sama-sama modern yang sebenarnya diproduksi oleh dirinya sendiri, yakni mahasiswa. Di balik depolitisasi rakyat kebanyakan oleh moncong senjata, Interpelasi hasrat dari ilusi “mahasiswa” yang Orde Baru tinggalkan kini berkembang secara independen dan membuat mereka menjadi sadar politik dan menjadi oposan. Namun tetap, oposisi yang mahasiswa lakukan cenderung hanya menyebarluaskan mistifikasi-mistifikasi terburuknya dan menyerukan ideologi- ideologi yang setidaknya sama-sama kaku dengan tujuan Orde Baru mengkonsolidasikan aturan dominan.

           Dalam sepanjang jalan oposisi yang membingungkan ini, ilusi-ilusi mahasiswa tetap diprosuksi dalam skala besar. Ilusi dan kebencian berlebih mereka terhadap tatanan masyarakat yang dikontrol oleh birokrasi militeristik Orde Baru semakin memuncak dan kemudian berujung pada penggulingan kekuasaan pada Maret 1998. Liberalisasi besar-besaran di sektor perbankan serta langkah BI mengubah kebijakan sistem kurs mengambang terkendali menjadi sistem kurs mengambang bebas pada Agustus 1997 menjadi kunci pembuka terjadinya gelombang krisis yang menyebabkan kredit macet, bangkrutnya puluhan bank dan luluh lantaknya perekonomian Indonesia. Akibat perubahan sistem kurs tersebut, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika semakin sulit dikendalikan karena menjadi lahan permainan para spekulan di pasar finansial. Maka dengan demikian, kebijakan industrialisasi; liberalisasi yang dimulai dengan konsep devisa bebas- investasi asing serta utang luar negeri di pelbagai bidang adalah tangan yang mencekik Orde Baru. Dan disaat detik-detik terakhir “ayah kandung”-nya, ilusi mahasiswa sebagai “agen perubahan” mendapatkan tempatnya, untuk menyelamatkan modernisasi sebagai “ayah angkat”-nya dengan apa yang mereka sebut sebagai reformasi.

           Reformasi, yang dikeramatkan mahasiswa sebagai jawaban dan cita-cita fantastis mereka, pada akhirnya hanya layak dipuji sebagai sebuah hegemoni kultural di tengah era baru, pasar bebas. Bangkai reformasi yang dimandori lembaga multilateral (IMF, World Bank, dsb.) hanya akan menemui peran ideologisnya yang berfungsi untuk menopengi masalah-masalah sesungguhnya; pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan. Namun lagi-lagi, dengan penuh gairah akan semangat reformasi, mahasiswa berusaha mengejawantahkannya atas nama usang mereka; agen perubahan. Mereka berpikir bahwa mereka adalah avant-garde saat mereka melihat sejarah reformasi. Hanya sayangnya, mereka tidak tahu bagaimana cara memperlakukan sejarahnya sendiri. Mereka hanya mengambil manfaat darinya dengan cara memandang cita-cita reformasi tersebut penuh kekaguman. Sehingga istilah reformasi menjadi sakral dan cenderung hanya dapat ditafsirkan lewat mimpi-mimpi mereka yang nir-faedah. Dengan demikian, gerakan-gerakan mahasiswa hanyalah sekedar parodi atas sebuah parodi, repetisi lelucon yang sudah tak lucu lagi dari organisasi-organisasi mahasiswa yang telah terdegradasi sejak lama.

           Kenyataan bahwa perubahan sejarah, yang menjadi bukti bahwa tatanan masyarakat dapat berubah, telah mereka reduksi menjadi dongeng, legenda masyarakat, atau bahkan novel picisan dan kecenderungan polusi verbalnya yang diekspos secara berlebihan hanya akan membuat kita duduk merenungi drama romantis tentang mitos kepahlawanan mereka. Bahwa kenyataan sejarah memperlihatkan masalah-masalah mereka berakar dari kenyataan dominan situasi kapitalisme yang sangat mapan; sebagaimana para situasionis katakan, "Sebuah sistem sosial yang dominan secara universal, yang cenderung menuju pemerintahan totalitarian yang membuat aturan- aturannya demi kepentingannya sendiri, secara visual hanya diperangi oleh bentuk-bentuk oposisi palsu yang tetap berada di medan sistem itu sendiri dan jadinya hanya berhasil memperkuat sistem yang diperangi.” Dengan begitu, apa yang telah dan akan dilakukan oleh mahasiswa hanya berupa ‘ilusi cermin’ dan reifikasi atas modernitas yang membayangi kenyataan dirinya di atas kelas tertindas, yang lepas dari relung dalam yang menjadi dasar segala ‘alasan’ berputarnya roda sejarah masyarakat.

 

 

Referensi

Gunawan. Runtuhnya Konsolidasi Demokrasi. Yogyakarta: Pusat Studi Masyarakat, 2002. Iskandar,

Himadi. “Neoliberalisasi Finansial dan Krisis Ekonomi Indonesia”. Dalam Salamudding

Daeng. ed. Menggugat Piagam Asean. Jakarta: Free Trade Watch Edisi I, 2011. hal. 83-88.

Khayati, Mustapha dan mahasiswa-mahasiswa di Strasbourg. Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa.        Terjemahan        Pam.        2006,        [online]        dalam        http://www. Bobsecrets.org/indonesian/poverty/.htm [diakses pada 23 Agustus 2019]

Lane, Max. Unfinished Nation. Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe, 2014.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STANDAR TATANAN KHAYALAK MANUSIA DAN GENDER LEBIH DARI DUA

KAMPUNG SUSUN BAYAM DI TENGAH GEMERLAPNYA IBUKOTA: REFLEKSI MARJINALISASI SOSIAL

Huru-Hara Stigma Gondrong