Perjamuan Ala Kolonial
Pernah sobat membaca atau mendegar kata "Rijstaffel"? Barangkali tidak terlalu akrab atau bahkan belum mengetahui kata tersebut dan hanya
mengetahui kalau itu merupakan potongan kalimat dari eropa sana.
Terdiri dari dua kata yakni rijst yang berarti nasi dan tafel yang berarti meja. Pada alurnya, merupakan perpaduan budaya makan pribumi dan Belanda yang tampak dalam hal pelayanan, tata cara makan serta jenis hidangannya khas pribumi yang dikemas dengan cara sangat Eropasentris.
Jadi rijsttafel ini merupakan hasil dari perpaduan budaya
nusantara dengan Belanda yang sering kali disebut dengan Kebudayaan Indis.
Mengutip sejarawan Ong Hok Ham dari buku rijstaffel: budaya
kuliner di indonesia masa kolonial 1870-1942 karya Fadly Rahman asal usul rijsttafel erat
kaitannya dengan kemewahan kebiasaan makan di keraton-keraton Jawa pada masa lampau.
“Kemewahan dalam hidangan dan pelayanan rijsttafel sekilas memiliki keserupaan
dengan tradisi dan kebiasaan makan di keraton-keraton.”
Pendapat tersebut beralasan karena dari data yang ada,
Duta Kongsi Dagang Belanda VOC Rijklofs van Goens sempat berkunjung ke Keraton
Mataram pada tahun 1656. Disitulah dirinya tampak bingung melihat begitu banyak
jenis makanan yang terhidang dalam menyambut tamu, mulai dari daging, ayam,
ikan, hingga sayuran yang diolah dari mulai dibakar, digoreng, hingga dikukus.
Namun, ada juga pendapat lain yang menekankan budaya
tersebut justru muncul dari penyambutan tamu ala tuan tanah Eropa di Jawa.
“Inspirasi terdekat rijsttafel sebenarnya lebih banyak bermula dari ruang-ruang
makan mewah para tuan tanah perkebunan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur
pada masa akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20," ujar Fadly.
Adanya rijsttaffel saat itu terhitung spesial
dan mewah. Sebab, di antara banyak sejarah pada masa penjajahan Belanda,
rijsttafel menjadi pembeda yang mana pada saat itu perpaduan budaya kuliner
nusantara maupun Belanda bersatu dengan harmonis di atas meja makan.
Perhelatannya menyajikan lebih dari satu menu masakan.
Hidangan ditata berdasarkan kebiasaan orang Belanda, di mana setiap hidangan
diletakkan di atas piring tersendiri. Lalu juga harus terstruktur dimulai dari
nasi sebagai hidangan utama, sayur serta lauk pauk sebagai hidangan tambahan,
dan pencuci mulut yang meliputi buah, kue maupun es.
Unsur barat yang kental dari sajian ini adalah
penggunaan piranti seperti sendok, garpu serta pisau. Keseluruhan alat makan yang
digunakan tidak terbuat dari alumunium, melainkan dari perak.
Hal ini menunjukkan kualitas yang besar dari budaya makan masyarakat
kolonial.
Hidangan ini selalu menjadi sajian istimewa di hotel dan
restoran mewah pada saat itu. Salah satu nya yang terkenal dengan suguhan rijsttafelnya
adalah Hotel Des Indes di Batavia dan Hotel Savoy Homann di Bandung yang biasanya menawarkan jamuan makan rijsttafel untuk para turis dari Hindia Belanda
maupun Eropa.
Menunya terdiri dari nasi kuning,
nasi goreng, bakmi, perkedel, sate, serundeng, tahu telur, telur balado, bebek
betutu, babi kecap atau smoor (semur daging), rendang, opor ayam, sayur lodeh,
acar, sup, gado-gado, krupuk, dan jangan lupa berbagai jenis aneka sambal pedas yang biasa disebut sambelans.
Beberapa jenis sambal yang sering dihidangkan diantaranya sambal brandal,
sambal badjak dan sambal serdadoe, serta lemper, lumpia beserta lapis legit sebagai makanan kecil.
Berdasarkan Jeff Keassberry spesialis
kuliner Hindia-Belanda, sampai saat ini rijsttafel masih menjadi menu populer
di keluarga-keluarga Belanda yang leluhurnya memiliki ikatan dengan sejarah
Hindia-Belanda. Rijsttafel juga biasa disajikan di restoran-restoran Indonesia
yang ada di sana.
Lantas bagaimana dengan pelayannya?
Orang Belanda menyebutnya sebagai jongos, nah apa itu jongos? Asal muasal kata jongos juga berasal dari bahasa Belanda. jongen memiliki arti kurang lebih adalah muda, pemuda, junior.
Dari kata jongen inilah muncul istilah jongos. Dimasa penjajahan Belanda berkembangnya jongos sering identik dengan begundal atau kaki tangan orang Belanda. Sebab karena itu jongos mengalami penyempitan makna. Makna yang berkembang kemudian menjadi negatif atau rendah.
Mereka adalah pribumi.
Mengenakan seragam khas berupa atasan dan bawahan panjang berwarna putih. Seragam para jongos dipadukan dengan sarung di pinggang serta ikat kepala ala Jowo. Mereka jarang atau bahkan tidak sama sekali memakai alas kaki ketika mondar-mandir membawa hidangan. Hidangan yang mereka suguhkan juga tidak diletakkan diatas nampan melainkan langsung dengan piring.
Tapi di negara kita sendiri
penyajian makanan gaya seperti ini sudah hampir terlupakan sejak zaman
kemerdekaan. Menemukan rumah tangga yang menyediakan makanan dengan gaya seperti
ini tergolong sulit ditemui kecuali saat
kenduri atau selamatan. Itu pun yang dihidangkan hanya makanan-makanan
tradisional dan variasinya tidak sebanyak rijsttafel. perkaranya jamuan ala londo
ini dianggap sebagai pemborosan serta budaya yang tidak mencerminkan nasionalis.
Referensi
Rahman, F. 2016. Rijsttafel:
Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama
Palupi, A. 2021. Dari Tanah Olahan
Hingga Meja Hidangan: Menu-Menu Sajian Dalam Kenegaraam Keraton Yogyakarta.
Yogyakarta. Pohon Cahaya.
Komentar
Posting Komentar